Menulis untuk Bersyukur

Tayangan disunting menggunakan Aplikasi Canva 

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Izin berbagi yaa. Narasi ini berdasarkan pengalaman Ummi, ditambah sedikit ilmu yang didapat dari beberapa sahabat pengarang maupun nasehat para ulama. 

Jadi, lebih dulu mana? Melakukan yang ditulis, atau mengarang bebas saja tanpa harus mengalaminya sendiri?

Hemat Ummi, syukuri setiap ide dengan eksekusi. Apalagi kalau yang ditulis hanya kisah sehari-hari. Daripada keburu lupa, maka corat-coret dan ketik saja setiap lintasan pikiran. Lalu simpan dalam arsip atau file.

Namun, perihal menyunting dan menuangkan pada media mana, itu hanya tentang waktu serta kesempatan. Juga hiasi dengan doa, agar tiap karya bermanfaat dan tidak mengundang debat.

Betapa repotnya pengarang naskah fiksi bahkan fantasi misalnya. Jika harus mengalami setiap yang dituliskan. 😁

Atau para pegiat dakwah aksara. Tidak mungkin mereka harus merasakan dulu azab bagi kaum yang ingkar, maupun beratnya perjuangan para Rasul serta Nabi.

Namun, jika yang dimaksud adalah kesesuaian antara lisan, tulisan dan perbuatannya. Maka, memang para pejuang literasi memiliki tanggung jawab moral, terhadap materi yang dibagikan pada pembaca.

Hanya saja, tidak setiap hal harus sudah dialami sendiri. Singkatnya, ini adalah perihal hikmah yang bisa dipetik.

Dalam bingkai : Ilustrasi seorang muslimah sedang mengetikkan idenya. Gambar diambil dari muslimahdaily.com

Menulis. Kegemaran ini berawal dari masa remaja. Era kami kan lagi hits banget buku harian yang kertasnya harum dan bergembok kecil. Ummi isi satu persatu, hingga menumpuklah beberapa buku harian wangi dan dikunci 😂

Lantas, ketika uang saku menipis tetapi semangat sedang tinggi. Media yang terpakai adalah buku tulis bergaris merek Sinar Dunia. Atau sempat juga beberapa teman meminta dibikinin cerpen. Plus, mengirim puisi di majalah dinding sekolah. 

Ummi pernah mengikuti lomba menulis. Namun, prestasi tertinggi seumur hidup hanyalah juara puisi Hari Kartini, yang diselenggarakan organisasi kewanitaan Ksatrian STPDN-IPDN. Hingga nyaris usia 40 tahun, Ummi ga pernah menang lomba penulisan apapun 🤭

Iya, meski jatuh bangun. Sejak awal segenap narasi Ummi dedikasikan untuk mensyukuri kehidupan 🥰

Dalam bingkai : Suasana seminar penulisan konten digital yang diikuti generasi muda Indonesia

Kemudian, amunisi. Masyaa Allah tabarakarrahman. Kita mesti menyadari bersama. Bahwa era digitalisasi segenap aspek adalah sebuah kemudahan paripurna. Ummi tidak bisa membayangkan betapa beratnya perjuangan literasi di masa lampau. 

Bahkan, pada zaman kenabian Rasulullah ﷺ penyimpanan arsip Maha Karya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى terletak pada kejeniusan para sahabat رضي الله عنهم dalam menghafal Al Qur'an dan Hadits. 

Lantas, setelah kepemimpinan Utsman bin Affan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ mulailah dilaksanakan pembukuan Kitabullaah secara bertahap. Mengingat para penghafal mu'jizat terbesar Baginda Rasulullah ﷺ banyak yang meninggal maupun syahid di medan perang. 

Pada masa setelahnya, proses mengikat ilmu dilakukan para ulama terdahulu dengan mencetak stempel tulisan tangan mereka. Atau pernah pula hamba shalih bernama Al Mawardi mengumpulkan hasil rautan pensil selama puluhan tahun, hingga menjadi bahan bakar perapian di rumahnya.

Dalam bingkai : Gambar perapian rumah diambil dari pxhere.com

Apa yang terjadi pada masa kita? Dengan kemudahan fasilitas, kecepatan berburu sumber rujukan dan keberlimpahan berita. Tetapi jika tidak disertai semangat kehambaan yang tinggi, mungkin kepenulisan akan mengalami penurunan makna. 

Luruskan niat setiap saat. Doakan karya senantiasa. Syukuri ide dengan selalu membagikan ilmu kepada sesama. Adapun masalah rezeki, yakinlah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Maha Adil dan Maha Bijaksana.

Teruslah semangat menebar manfaat. 

ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ

 مَاشَاءَ اللهُ تَبَارَكَ اللهُ

Komentar

Postingan Populer