Ksatrian bukan Kerajaan

 

Tayangan pembuka naskah disunting melalui Canva. Lagu latar Mars IPDN. Dokumentasi kegiatan Rohis Angkatan 14 STPDN-IPDN kisaran tahun 2005

Bapak Ibu kami senantiasa menyebut Ummi beruntung bisa menjadi seorang Wanita Praja, jika para tetangga atau teman beliau berdua bertanya. Memang kedua orang tua kami adalah sepasang pegawai. Namun, bukan dari unsur birokrasi.

Kakung sebelum beliau pensiun adalah petugas ukur di Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar. Sedangkan Uti pengajar Sejarah di sebuah SMA Negeri wilayah Kabupaten Blitar pula. Jika dipikir, nggak ada koneksi dengan para pengabdi masyarakat di lingkungan wilayah sebelah; -tempat Ummi sekarang bertugas- Pemerintah Kota Blitar. Bahkan, keluarga kami juga nggak ada yang memiliki basic pendidikan kedinasan. Maka memang, ini sebuah langkah baru.


Dalam bingkai : Ummi ketika malam perpisahan Latihan Dasar Mental dan Kedisiplinan Praja, dengan para Pembina TNI di sebuah wilayah Jawa Barat akhir tahun 2002. Kami berpamitan dengan Bapak Ibu Tentara. Ini Ummi sedang bersalaman dan dipeluk salah satu Ibu Tentara.

Ternyata, ketika menempuh pengayaan jiwa raga pada Kawah Candradimuka sekitar tahun 2002 hingga 2006, banyak teman yang memiliki latar belakang serupa. Walau detilnya, mereka lebih menakjubkan.

Ada rekan Wanita Praja yang merupakan putri sepasang transmigran. Ketika hijrah dari Jawa, kedua orang tuanya sampai membawa termos dan perkakas dapur sederhana sebab memang bekal yang sangat terbatas.

"Lantai rumahku di pulau yang baru. Jika kamu melangkah selembut apapun, tetap akan terdengar bunyinya. Kreot kreot. Kadang, aku khawatir kalau rumah kayu kami sewaktu-waktu rubuh", dia tertawa. Nyeri terdengar bagi Ummi.

"Pasti mereka bangga sekali kamu bisa sekolah di sini", ujar Ummi. Sang teman ini hanya tersenyum.

"Karunia yang berharga untuk keterbatasan kami selama ini", pungkasnya sambil merangkul bahu Ummi.


Dalam bingkai : Kebahagiaan kami -Anggota Rohis Ksatrian- saat dampingi para pelajar usia SD di seputaran Kampus IPDN Cilandak, berwisata ke Kebun Binatang Ragunan medio tahun 2005.

Ada lagi kisah putra praja yang semasa kecil nyaris putus sekolah. Orang tuanya adalah buruh tani sederhana. Sesekali diminta tolong tuan tanah, memanjat pohon kelapa untuk memanen buahnya. Selulus SD, bapaknya meminta dia untuk ikut bertani saja.

Lantas ada keluarga pegawai yang mencari anak asuh dan menyekolahkan hingga SMA. Dia tinggal juga bersama mereka, keluarga angkatnya.

Selulus dari Ksatrian, sang putra kembali pada keluarga kandungnya. Membawa kebanggaan bagi orang tua. 

Ada pula kisah putra praja yang membuat tercengang para tetangga. Sebab ayahnya adalah tenaga kebersihan sebuah kantor pemerintahan 

Masih banyak lagi sosok wanita praja atau mungkin praja putra, yang berangkat dari daerah pendaftaran masing-masing sebagai anak dari kedua orang tua yang sangat sederhana. Bukan dari figur birokrat. Bahkan bisa jadi, sangat asing dengan kehidupan sistematis selaku aparatur sipil negara.

Pada novel duet kami, juga disebutkan bahwa Ksatrian memang bukan kerajaan para pangeran dan putri. Ksatrian adalah penempaan ketangguhan para pemuda pemudi berjiwa ksatria. Dengan berbagai latar belakang.

Jadi, insya Allah akan sama saja perlakuannya. Apakah kamu putra pejabat ataukah anak rakyat biasa. Bahkan yang putra putri Pamong Praja sekalipun.

Tidak ada privilege. Tidak ada pengkhususan. Bahkan bisa jadi, kita saling bertanggungjawab antara teman seangkatan. Saling mengingatkan dan menjaga agar sesama rekan tetap mematuhi batasan serta aturan.

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
مَاشَاءَ اللهُ تَبَارَكَ اللهُ

Komentar

Postingan Populer